Pencurian listrik dan pemasangan listrik ilegal masih marak terjadi di Indonesia. Kasus pencurian semacam ini memang sedikit riskan untuk dicegah maupun diselesaikan. Namun sebenarnya pencurian listrik sudah diterbitkan fatwanya yaitu fatwa MUI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Pencurian Energi Listrik. Dalam fatwa itu dijelaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan, membantu dengan segala bentuknya, dan atau membiarkan terjadinya pencurian energi listrik. Selebihnya pencurian listrik dapat dibagi menjadi empat kategori. Pertama, pencurian listrik dengan mengubah batas daya, kasus semacam ini biasanya dilakukan dengan menghilangkan alat pembatas /kWh. Bisa jadi hilang, rusak, atau putus. Selain itu, kemampuan daya juga tidak sesuai dengan surat perjanjian jual beli tenaga listrik (SPJBTL). Yang kedua, yaitu dengan cara memengaruhi pengukuran energi. Seperti segel pada alat pengukur hilang, rusak, putus, atau tidak sesuai dan alat pengukur tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Lalu jenis pencurian yang ketiga adalah gabungan dari pelanggaran pertama dan kedua, atau menyambung kabel secara ilegal. Sedangkan yang terakhir, yaitu pelanggaran yang dilakukan bukan oleh pelanggan. Misalnya, menggunakan listrik tanpa melewati alat pengukur dan alat pembatas daya (APP), seperti menyambung dari tiang, penerangan jalan umum yang tidak menggunakan APP, dan lain sebagainya. Fatwa MUI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Hukum Pencurian Energi Listrik.
Namun faktanya pemasangan listrik ilegal masih sering terjadi. Sudah tentu itu melanggaran fatwa yang sudah dijelaskan di atas. Sebab pemasangan secara ilegal itu tidak termasuk pelanggan PLN. Jika dikaji lebih dalam. Pencurian listrik, tidak hanya merugikan PLN tetapi juga membahayakan masyarakat itu sendiri. Contohnya dapat memicu kebakaran. Di Mojokerto praktik pencurian listrik oleh pelanggan masih marak terjadi. Terbukti dalam kurun waktu 8 bulan, telah ditemukan 3.747 pelanggan yang kedapatan melakukan praktik pencurian listrik. Sedangkan besaran listrik yang dicuri mencapai 5,99 juta KWh atau senilai Rp 5,94 miliar. Sementara total pelanggan PLN Area Mojokerto saat ini sekitar 1,3 juta. Modus pencurian yang dilakukan para pelanggan rupanya beragam. Pencurian listrik paling banyak dengan cara membuat sambungan tanpa melalui meter KWh. Sehingga energi listrik yang dipakai tak masuk penghitungan PLN. Modusnya kebanyakan menyadap di atas meter KWh. Saat ini PLN tentu sudah mengalakkan razia pencurian listrik, karena pencurian listrik juga mempunyai konsekuensi hukum, karena pencurian, salah satunya, diatur dalam Pasal 362 KUHP : “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp900-,”.
Selain dalam KUHP, mengenai menggunakan listrik yang bukan haknya juga diatur secara khusus dalam Pasal 51 ayat (3) UU Ketenagalistrikan sebagai berikut: “Setiap orang yang menggunakan tenaga listrik yang bukan haknya secara melawan hukum dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah)”. Kita sebagai pelanggan PLN hendaknya hati – hati dalam menggunakan listrik. Mengotak ngatik sambungan listrik pun sepertinya bukan hal bijak, karena bisa saja kita dikira memanipulasi kwh. Hendaknya kita berhati hati dan bijak dqalam pengunaan listrik. Karena pencurian tenaga listrik, selain merugikan negara, juga dapat menyebabkan kebakaran. Salah satu hal yang dapat mengindarkan kita dari bahaya listrik adalah dengan memakai kabel berstandar SNI.